Kamis, 23 Februari 2012

Saatnya Masyarakat Juga Peduli Bencana


Bencana alam merupakan suatu keadaan atau fenomena yang memang harus kita terima. Bencana alam datang tanpa pernah memperdulikan keadaan manusia atau apapun yang ada seketika itu. Bencana tak pernah peduli apakah kita sudah siap dengan kedatangannya, apakah kerusakan yang ditimbulkan akan mendatangkan kerugian yang luarbiasa. Belum juga hilang dari ingatan kita, bagaimana aktivitas Gunung Merapi berhasil membuat kegelisahan penduduk yang bermukim di sekitarnya. Aktivitas gunung yang terjadi dalam kurun waktu Oktober sampai dengan November tahun lalu itu terasa sangat luar biasa. Kondisi letusan yang dihasilkan sangat berbeda dengan kondisi letusan yang  sama pada tahun 2006. Tahun ini aktivitas  Merapi jauh lebih besar dan lebih lama dari yang terjadi pada 2006 yang lalu.
Letusan yang terjadi secara berkala tersebut, memberikan dampak yang cukup besar bagi masyarakat. Dari data yang diperoleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), diperoleh data berupa sebanyak 66.500 warga sekitar lereng Merapi yang terbagi dalam beberapa wilayah harus diungsikan. Wilayah yang warganya paling banyak diungsikan adalah Kab. Magelang dengan 39056 jiwa, diikuti Kab.Sleman dengan 18.929 jiwa, Kab. Klaten sebanyak 4.527 jiwa, dan Kab.Boyolali sebanyak 3.988 jiwa. Namun, ternyata masih ada saja korban meninggal dalam bencana tersebut.  Kabupaten Sleman menjadi kabupaten dengan korban meninggal tertinggi yaitu sebanyak 37 jiwa dan satu korban lagi berasal dari Kabupaten Magelang.
Dari data yang dipaparkan di atas perlu digarisbawahi mengenai jumlah korban meninggal yang masih banyak. Upaya yang dilakukan pemerintah melalui BNPB sudah cukup maksimal. Mereka melakukan pemantauan bencana dan memberikan instruksi kepada warga  dengan cepat. Dengan upaya maksimal tersebut, masih ada saja korban jiwa yang jatuh. Alasan yang logis tentunya ya karena bencana yang terjadi tahun ini lebih dari biasanya. Warga yang sudah terbiasa dengan aktivitas Merapi merasa yakin bahwa mereka akan baik baik saja menghadapi suasana yang demikian.
Kalau kita lebih cermat membaca masalah kebencanaan yang ada di Indonesia ini, ternyata akan timbul suatu kesimpulan  bahwa di sini terjadi ketimpangan penanganan bencana. Kita lihat bagaimana luar biasanya respon bencana di Negara kita tidak diimbangi dengan upaya mitigasi yang baik.  Di sinilah masalah pokok yang harus dipikirkan oleh pemerintah. Berapa banyak dana yang dialokasikan untuk upaya mitigasi bencana di Indonesia ini. Pemerintah terkesan kurang memberikan perhatian yang lebih terhadap upaya mitigasi bencana. Sangat berbeda dengan penanganan pasca bencana yang mana dari pejabat tingkat daerah sampai tingkat nasionalpun turun tangan. Memang upaya mitigasi ini bukan sesuatu kebijakan yang populer dilakukan, tetapi yang terpenting hal ini lebih ditekankan kepada upaya meminimalisir korban suatu bencana. Kenyataan bahwa Indonesia merupakan Negara dengan bencana yang cukup lengkap inilah yang membuat kita harus memberikan perhatian yang lebih.
Sebenarnya kalo kita berbicara lebih ekstrim lagi, sebenarnya tugas pemerintah melakukan tanggap bencana ini sudah sangat terbantu dengan peran aktif masyarakat. Peran masyarakat dalam tanggap bencana di beberapa kejadian bencana cukup besar. Betapa banyaknya  relawan dan bantuan masyarakat  yang ada selama tanggap bencana mulai dari Gempa Aceh, Bantul, Tsunami di mentawai dan yang terbaru aktivitas Gunung Merapi kemarin membuktikan bahwa budaya gotong royong kita belum luntur. Hal inilah yang secara cermat harus dimanfaatkan oleh pemerintah.
Perlu diingat sekali lagi bahwa upaya penanganan bencana tidak hanya dilakukan semata mata ditekankan kepada tanggap darurat pasca bencana.  Namun, upaya mitigasi dan peningkatan kewaspadaan bencana dengan melibatkan masyarakat sebagai upaya meningkatkan respon bencana yang tepat juga perlu dilakukan. Secara teknis sebenarnya kita mampu untuk melakukan itu semua. Sekarang yang menjadi masalah adalah perhatian pemerintah dan kesadaran masyarakat itu sendiri yang perlu ditingkatkan. Kedua hal penting itulah yang harus dilakukan bersama sama secara terintegrasi. Akan menjadi mubadzir ketika perhatian pemerintah yang bagus tidak diimbangi dengan kesadaran masyarakat itu sendiri. Tidaklah bijak jika selalu saja pemerintah yang menjadi kambinghitam kegagalan penanganan bencana. Sudah saatnya kita berkaca pada diri sendiri, apakah kesadaran  kita akan bencana sudah cukup baik? Baik dalam artian ini tidak semata mata hanya mengikuti saran pemerintah, tapi lebih kepada ikut serta berperan aktif dalam upaya kewaspadaan bencana. Sangat disayangkan jika masyarakat tidak dilibatkan. Jangan sampai kejadian ada kehilangan alat pemantau karena  diambil orang. Namun kenyataannya hal inilah yang terjadi di negara kita. Orang orang tidak pernah mengetahui adanya alat alat monitoring di sekitarnya. Ya memang sangat disayangkan, oleh karena itu sudah saatnya kita warga Indonesia dan pemerintah saling bekerjasama dalam upaya peningkatan kewaspadaan akan bencana.

Rabu, 22 Februari 2012

Peranan Penginderaan Jauh Dalam Upaya Penangan Bencana


Indonesia merupakan Negara dengan frekuensi bencana yang tinggi di Dunia. Ada banyak macam bencana yang terjadi di Negara ini, mulai dari bencana keairan di pantai hingga bencana vulkanologi. Maka untuk mengantisipasi keadaan ini perlu adanya upaya adaptasi maupun mitigasi bencana alam. Salah satu upaya peningkatan dua aspek tersebut adalah dengan menggunakan fasilitas Penginderaan jauh. Peranan penginderaan jauh sebagai pendukung penanganan bencana bisa dibilang cukup besar. Kemampuan Inderaja dalam menganalisis keadaan alam secara cepat dan tepat tanpa harus disertai dengan surrvei lapangan membuat metode ini menjadi sangat effisien dan menguntungkan. Dalam symposium geospasial yang diselenggarakan mahasiswa Geografi UGM pada 29 Oktober 2011, ada 3 buah penelitian mengenai penggunaan inderaja ini dalam kaitannya dengan penanganan bencana alam.
1.             Kajian Kapasitas Perempuan dalam Menghadapi Bencana Gempa Bumi

Latarbelakang dilakukannya penelitian ini adalah fakta bahwa sebagian besar korban meninggal dalam musibah gempabumi Yogyakarta 2006 adalah perempuan. Di kecamatan Sumbermulyo sendiri korban meninggal mencapai 607 jiwa. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan di desa Sumber mulyo, Kecamatan Bambanglipurwo, kabupaten Bantul .dari 16 padukuhan di Sumber Mulyo, hanya diambil 3 padukuhan sebagai sampel yaitu Caben, Gresik, dan Bondalem. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk:
§ Mengetahui kapasitas perempuan dalam menghadapi gempa
§ Mengetahuai faktor faktor pengaruh kapasitas tersebut
§ Merumuskan strategi terhadap kapasitas perempuan
   Metode penelitian yang digunakan adalah kombinasi kualitatif dan kuantitatif. Ketiga tujuan penelitian tersebut masing masing mempunyai metode tersendiri dalam analisisnya. Analisis kapasitas perempuan dilakukan dengan menggunakan skala gutman, faktor faktor pengaruhnya dapat dianalisis dengan analisis crosstab & chi square, sedangkan perumusan strateginya menggunakan analisis SWOT. Maka dengan ketiga metode tersebut, penelitian dilakukan pada beberapa sampel penduduk yang dipilih secara acak sehingga bisa dianggap cukup mewakili. Adapun persyaratan seorang sampel adalah umur berkisar antara 17-55 tahun, sehat jasmani dan rohani, dan mengalami kejadian gempabumi. Dalam penelitian pasti terdapat data berupa data kualitatif, maka dalam pengolahannya data tersebut ditransformasikan menjadi kuantitaif dengan cara memberikan bobot pada masing masing jawaban.
Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini adalah :
§ Tingkat kapasitas Dukuh Caben rendah, Gresik sedang, dan Bondalem sedang.
§ Faktor faktor yang mempengaruhi adalah tingkat usia, tingkat pengetahuan, dan tingkat pendidikan. Namun, hasil aneh yang didapat berupa tingginya tingkat pendidikan tidak berpengaruh pada kapasitas perempuan. Peneliti kemudian membuat suatu kesimpulan bahwa hal ini terjadi akibat para perempuan ini memainkan peran ganda ketika gempa.
§ Strategi yang dilakukan adalah dengan meningkatkan pengetahuan tentang gempa bumi terkait dengan usaha penangannya saat gempa terjadi, meningkatkan semangat partisipasi dalam sosialisasi gempa bumi,mempraktekan situasi tanggap darurat saat gempa.

2.       Quick Damage Assesment and Mapping Using Video Imaging System Unmanned Aircraft Aerial Photography.

Latar belakang dari penelitian ini adalah kondisi Indonesia yang merupakan Negara dengan tingkat frekuensi bencana yang sering dan beraneka macam. Dengan kata lain ketersediaan data real time pada saat itu juga sebisa mungkin terpenuhi. Penggunaan data satelit kadang belum dapat memenuhi tuntutan kecepatan akses tersebut. Oleh karena itu, diberikan suatu solusi berupa penggunaan pesawat tanpa awak. Pesawat tanpa awak ini digunakan untuk mendapatkan data langsung ke lapangan  dengan foto udara. Jadi pada pesawat akan dipasang kamera dan diterbangkan ke daerah bencana kemudian akan merekam citra yang ada di daerah tersebut. Namun, dalam penelitian ini tidak dijelaskan hal spesifik mengenai teknis penggunaan pesawat ini. Peneliti hanya memaparkan berbagai keunggulan pencitraan dengan pesawat. Bagaimana tata cara pengambilan datanya, aturan aturan pengambilan data, pengolahan data pasca perekaman juga tidak dijelaskan oleh peneliti.   

3.          Pengujian Metode Segmentasi Citra Untuk Pemetaan Kerusakan Bangunan Rumah Akibat Bencana Erupsi Gunungapi.

Inventarisasi kerusakan bangunan rumah akibat suatu bencana (dalam hal ini erupsi) merupakan salah satu dari managemen pengelolaan bencana. Kelengkapan data ini dituntut ada secara cepat dan tepat padahal pada kondisi pascabencana, pengambilan data bisa dibilang sangat sulit dilakukan. Untuk itu, teknologi remote sensing dan GIS memberikan suatu alternative solusi dalam usaha pemetaan kondisi bangunan pascabencana dengan citra digital.
Metode segmentasi objek adalah metode klasifikasi objek dengan berdasar pada ciri spectral maupun spasialnya. Selain itu metode ini dilakukan semi otomatis sehingga waktu pemrosesannya lebih singkat. Pemetaan dengan metode ini dilakukan dengan membandingkan hasil segmentasi dua citra resolusi tinggi pada saat sebelum dan setelah erupsi. Objek yang telah disegmentasi berdasar cirri spectral dan geometrinya, kemudian ditumpangtindihkan untuk melihat perubahan bentuk dan pergeseran posisi bangunan. Dengan cara tersebut, penentuan jumlah bangunan yang baik, ataupun rusak dapat dengan mudah dilakukan. Dengan membandingkan dengan metode visual diperoleh hasil bahwa  tingkat keakuratan interpretasi visual adalah 96,47% dan segmentasi adalah 95,29% dengan luasan sampel yang digunakan sempit. Ini membuktikan bahwa metode segmentasi memang masih di bawah metode visualisasi dari segi keakuratannya, tetapi untuk lama pemrosesannya lebih cepat, dan memungkinkan lebih cepat lagi pada kondisi dimana luas area diperbesar.
Dari ketiga contoh penelitian tersebut, tentunya  dapat kita ambil pelajaran bawasannya dengan memanfaatkan sistem penginderaan jauh ada banyak pekerjaan yang dapat dilakukan dengan lebih cepat. Dan menjadi sangat terasa manfaatnya ketika kita lihat perannannya dalam upaya penangan bencana, baik pra ataupun pasca bencana. Semoga dari informasi di atas akan dapat memberikan inspirasi bagi pembaca. 

Klasifikasi Citra Digital



Tujuan dari proses klasifikasi citra adalah untuk mendapatkan gambar atau peta tematik. Gambar tematik adalah suatu gambar yang terdiri dari bagian-bagian yang menyatakan suatu objek atau tema tertentu. Proses klasifikasi citra ada dua jenis, yaitu Supervised (Klasifikasi Citra Terawasi) dan Unsupervised (Klasifikasi Citra Tak Terawasi).
Klasifikasi Citra Terawasi (Supervised)
Penggunaan istilah terawasi disini mempunyai arti berdasarkan suatu referensi penunjang, dimana kategori objek-objek yang terkandung pada citra telah dapat diidentifikasi. Klasifikasi ini memasukkan setiap piksel citra tersebut kedalam suatu kategori objek yang sudah diketahui. Sebelum klasifikasi dilakukan, maka kita harus memasukkan inputan sebagai dasar pengklasifikasian yang akan dilakukan. Dengan klasifikasi ini, kita lebih bebas untuk memilah data citra sesuai dengan kebutuhan. Misalnya dalam suatu kawasan kita hanya akan melakukan klasifikasi terbatas pada jenis jenis kenampakan secara umum semisal jalan, pemukiman, sawah, hutan, dan perairan. Hal tersebut dapat kita lakukan dengan klasifikasi ini. Proses input sampel juga cukup mudah, hanya saja perlu ketelitian dan pengalaman agar sampel yang kita ambil dapat mewakili jenis klasifikasi. Baik buruknya sampel, Diwujudkan dalam nilai indeks keterpisahan.
Klasifikasi Citra Tak Terawasi (Unsupervised)
Proses klasifikasi disebut tidak terawasi, bila dalam prosesnya tidak menggunakan suatu referensi penunjang apapun. Hal ini berarti bahwa proses tersebut hanya dilakukan berdasarkan perbedaan tingkat keabuan setiap piksel pada citra. Klasifikasi citra tak terawasi mencari kelompok-kelompok (cluster) piksel-piksel, kemudian menandai setiap piksel kedalam sebuah kelas berdasarkan parameterparameter pengelompokkan awal yang didefinisikan oleh penggunanya.
Kegunaan Image Proccessing dalam Pengelolaan Bencana
Seperti yang kita ketahui, Indonesia merupakan daerah yang memiliki potensi bencana besar. Hal ini membuat kita harus senantiasa waspada terhadap berbagai macam bencana yang mungkin terjadi. Maka untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap bencana kita memerlukan suatu informasi yang jelas mengenai daerah daerah potensi bencana dan peta prediksi bencana dan lain lain. Salah satu metode yang cukup handal untuk melakukan analisis tersebut adalah dengan menggunakan Penginderaan Jauh. Melalui metode ini dengan image processing, ada banyak sekali  keuntungan yang diperoleh baik dalam analisis pra bencana atupun pasca bencana. Hasil Image processing  akan memberikan data yang lengkap, cepat dan jelas tergantung dari lingkup data seperti apa yang kita butuhkan.
melalui image processing, dapat kita memprediksi daerah potensi lahar dingin misalnya pada sungai sungai di sekitar gunung merapi. Selain itu proses monitoring juga dapat dengan cepat dan tepat dilakukan tanpa harus turun langsung ke lapangan. Artinya, untuk saat ini, pengolahan citra digital memiliki peranan yang cukup signifikan  dalam usaha penangan bencana alam.

Senin, 20 Februari 2012

Aplikasi Transport Demand Management





A.                Permasalahan Transportasi
 Dengan perkembangan perkotaan dan proyeksi pertumbuhan ekonomi di Indonesia seperti saat ini, permasalahan transportasi perlu segera diantisipasi praktis di setiap kawasan perkotaan, terutama kota-kota dengan populasi yang cukup besar. Peningkatan jumlah pergerakan yang terjadi akibat berkembangnya aktivitas masyarakat perkotaan menuntut penambahan prasarana transport perkotaan. Disamping itu, dengan meningkatkan taraf hidup masyarakat, tuntutan akan kualitas prasarana yang lebih baik juga meningkat. Sementara itu keterbatasan sumber daya menyebabkan penambahan prasarana transportasi perkotaan tertinggal dibanding peningkatan kebutuhan. Fenomena ini terjadi praktis di semua kota besar di Indonesia. Implikasinya adalah terjadinyakemacetan lalu-lintas yang makin hari makin ekstensif sehingga aktivitas masyarakat terhambat, pemanfaatan prasarana dan sarana menjadi tidak efisien, tingkat keselamatan lalu-lintas menurun dan pencemaran yang ditimbulkan lalu-lintas bertambah. Fillianti (2005) menyebutkan bahwa isu-isu utama perkembangan perkotaan yang signifikan dengan permasalahan transportasi adalah sebagai berikut:
1.         Pertumbuhan Penduduk dan Urbanisasi
2.         Perkembangan Bentuk Perkotaan
3.         Perkembangan Jenis Aktivitas/Tata Guna Lahan
4.         Perluasan Kawasan Perkotaan
5.         Kebijaksanaan Dekonsentrasi
6.         Pertumbuhan Ekonomi
Kerugian akibat kemacetan lalulintas di perkotaan terutama terkait dengan:
1. Meningkatnya Biaya Operasi Kendaraan (BOK) akibat menurunnya kecepatan perjalanan rata-rata.
2.  Kerugian nilai waktu akibat hilangnya kesempatan berproduksi akibat tundaan waktu perjalanan.
3.   Kerugian psikis akibat stress serta perilaku yang tidak produktif.

B.              Konsep Transport Demand Management
Kebijakan dan strategi penanganan masalah kemacetan lalulintas di perkotaan perlu dilakukan secara multi-facet dengan mengedepankan keterpaduan dalam berbagai jenjang dan aspek sekaligus. Jenjang tersebut meliputi penanganan di tingkat makro, meso maupun mikro. Sedangkan aspek yang dilakukan mencakup 3E, yaitu: aspek teknis (Engineering), aspek penegakan hukum (Enforcement), dan aspek pendidikan (Education). Salah satu alternatif penanganan adalah dengan menggunakan Konsep Transport Demand Management (TDM). Martha Maulidia (2010) menyebutkan bahwa Konsep pengelolaan kebutuhan transportasi (TDM) adalah penerapan strategi dan kebijakan untuk mengurangi kebutuhan perjalanan, khususnya untuk kendaraan bermotor pribadi atau untuk mengatur beban transportasi di tempat dan waktu tertentu. Penerapan TDM adalah alternatif yang sangat cost-effective dibandingkan penambahan kapasitas, perluasan jalan dan penerapan teknologi lain yang relatif lebih mahal. Kemudian pada penjelasan berikut ini,  dapat diketahui dimana peranan penerapan Transport Demand Management dalam usaha penanganan lalulintas secara menyeluruh.
Pada level makro, penataan ruang perkotaan perlu dikembangkan ke arah model-model perencanaan kota yang bersifat:
·            Compact city, pengembangan kawasan-kawasan terpadu yang kompak dan memadukan fungsi-fungsi hunian, perkantoran dan komersial seperti super-block.
·            Transit Oriented Development, dengan mengarahkan pengembangan kawasan pada simpul-simpul jalur angkutan umum masal yang memiliki aksesibilitas tinggi, terutama untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi.
·            Kawasan Hunian Kepadatan Tinggi, dengan orientasi bangunan dikembangkan ke arah vertikal dan membatasi hunian-hunian kepadatan rendah.
Pada level meso, perlu dikembangkan angkutan umum masal dan dilakukan keterpaduan transportasi antar moda yang mengarah pada seamless transport, sehingga pengguna angkutan umum dapat berpindah-pindah moda tanpa halangan yang berarti. Selain itu perlu diterapkan pula skema-skema Transport Demand Management seperti:
·            Park-and-ride, yaitu fasilitas untuk dapat berpindah moda secara nyaman dari kendaraan pribadi ke angkutan umum (KA atau Busway).
·            High Occupancy Vehicle, yaitu pemberian prioritas bagi kendaraan dengan muatan penumpang tinggi seperti bus, mikrobus dll.
·            Ride-sharing, yaitu mengembangkan upaya-upaya penyediaan angkutan antar-jemput atau berkendaraan bersama dalam satu tempat kerja.
·            Car-pooling yaitu pengembangan sistem angkutan shuttle dari lokasi-lokasi hunian yang disediakan secara swadaya oleh penghuni atau pengembang.

Kebijakan pada level mikro atau street level akan diarahkan pada keterpaduan penanganan prasarana dan sarana serta penerapan skema-skema traffic management. Komponen prasarana dan sarana yang perlu ditangani antara lain menyangkut:
·            Penanganan/peningkatan kapasitas persimpangan melalui pelebaran lengan-lengan simpang.
·            Pemasangan alat pengatur instrumen lalulintas (APIL) yang terkoordinasi.
·            Pembangunan fly-over atau underpass pada persimpangan yang padat maupun perlintasan jalan dengan rel KA.
·            Perbaikan kerusakan kondisi jaringan jalan dan pelebaran bagian-bagian yang mengalami penyempitan.
·            Peningkatan bahu jalan, rambu-rambu, lampu penerangan dan fasilitas pejalan kaki di perkotaan.


Gambar 1. Strategi Penanganan Kemacetan Multi-facet
Melihat pengalaman di negara-negara maju, metoda-metoda TDM potensial untuk diterapkan di Indonesia, namun kondisi masyarakat dan sistem yang berbeda tentu menuntut penyesuaian tertentu sebelum metoda yang terbukti efektif di negara maju juga bisa diterapkan di Indonesia. Pengalaman di negara-negara maju menunjukkan bahwa membangun terus prasarana yang dibutuhkan, tidak selalu menjadi solusi yang terbaik. Setiap pembangunan prasarana transportasi membawa dampak lingkungan dan oleh karena itu ada kapasitas tertentu dari suatu wilayah yang menjadi ambang lingkungan untuk menerima dampak yang ditimbulkan setiap aktivitas pembangunan kota yang perlu dipertahankan untuk tidak dilampaui. Disamping itu pembangunan jaringan jalan, khususnya yang hanya mengikuti tuntutan kebutuhan cenderung mendorong peningkatan penggunaan kenderaan pribadi yang notabene tidak efisien pemanfaatannya dipandang dari sudut sistem transportasi secara kese1uruhan.
Pada akhirnya dalam mengembangkan konsepp TDM, langkah paling jitu adalah membawa masyarakat perkotaan untuk menggunakan moda transportasi umum. Namun, masalahnya pada saat ini penggunaan kendaraan pribadi menjadi hal yang sangat disenangi masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari ketidakmampuan angkutan umum melayani kebutuhan mobilitas mereka dengan cepat, mudah, dan murah tentunya. Namun, seperti yang telah disebutkan di awal bahwa pengunaan angkutan pribadi yang berlebihan justru akan menimbulkan masalah masalah lalulintas. Untuk itulah konsep TDM ini perlu diterapkan. Adapun secara garis besar penerapan konsep TDM ini dapat dikelompokkan dalam dua alternatif yaitu:
1.         Memperbaiki kualitas layan transportasi umum dalam rangka menarik minat masyarakat.
2.         “Mempersulit” masyarakat dalam menggunakan kendaraan pribadi.
Tabel 1 menyajikan strategi, metoda, dan teknik TDM yang sudah dikenal cukup luas dan umumnya sudah diterapkan di berbagai kota di dunia. Dilihat dari stategi-strategi yang bisa diadopsi, strategi tertentu berfokus pada sisi penyediaan, strategi tertentu lainya berfokus pada sisi demand.
Tabel 1. Strategi, Metoda, Dan Teknik Transport Demand Management
Strategi
Metode
Teknik
Peningkatan pemanfaatan aset
 Penyebaran lalu lintas puncak




Okupansi kenderaan (kepemilikan)
Pentahapan jam kerja
Jam kerja fleksible
Perubahan hari kerja
Pembedaan biaya parkir
Pembedaan ketersediaan tempat parkir

Kenderaan bersama
Pool kenderaan (kelompok / gabungan)
Jalur khusus kendaraan berpenumpang banyak
Prioritas parkir
Park and ride
Batasan fisik
Pembatasan Area


Pembatasan Ruas




Pembatasan Parkir
Pemilihan area lalu lintas
Ijin area (Area licences)

Batasan akses
Pengaturan lampu lalu lintas
Pengurangan kapasitas
Prioritas angkutan umum

Batasan ruang parkir
Control akses parker
Pengenaan biaya
Biaya jalan (Road Pricing)


Pembatasan Ruas


Pembatasan Parkir
Toll
Biaya masuk area
Biaya kemacetan

Prioritas jangka pendek
Biaya masuk tinggi

Penerapan pajak bahan bakar
Penerapan pajak parker
Perubahan sosial dan aspek
Bentuk perkotaan


Sikap sosial


Perubahan teknis
Kota yang lebih kompak
Pengembangan kota yang efisien

Kesadaran dan informasi masyarakat
Pendidikan masyrakat

Subsitusi komunikasi
Pengembangan system transportasi
Sumber : Luk (1992)

C.                Penerapan Transport Demand Management di Kota Besar
1.                  DKI Jakarta
DKI Jakarta merupakan kota dengan tingkat kesibukan paling tinggi di Indonesia. Salah satu hal yang dapat membuktikan pernyataan di atas adalah dengan terlihatnya volume kendaraan yang ada di Jakarta.  Di Jakarta sendiri terdapat sekitar 5,5 juta kendaraan. Dari segi komposisi kendaraan, saat ini lalulintas di perkotaan didominasi oleh kendaraan roda dua (61%), sedangkan kendaraan roda empat atau lebih berkisar 39%. Pertumbuhan kendaraan roda dua ini di beberapa kota mencapai hampir 20% per tahun, sementara kendaraan lainnya umumnya hanya tumbuh sekitar 5-10%.
Imbas dari volume kendaraan yang besar tersebut, terjadi kemacetan di kota ini. Secara tipikal kemacetan lalulintas di perkotaan diakibatkan oleh 3 hal pokok yaitu:
·            Volume lalulintas kendaraan yang melebihi kapasitas ruas jalan
·            Bottle-neck akibat adanya penyempitan ruas jalan.
·            Konflik yang terjadi di persimpangan maupun di titik-titik tertentu pada ruas jalan.

Gambar 2. Komposisi kendaraan DKI Jakarta

Berdasarkan hasil studi yang ada, mengindikasikan kerugian akibat kemacetan lalulintas di perkotaan seperti DKI Jakarta rata-rata mencapai Rp. 1,25 juta/kapita/tahun, atau mencapai lebih dari Rp. 10.4 triliun/tahun.
Maka, pemerintah melakukan berbagai macam cara untuk mengatasi masalah transportasi tersebut, diantaranya adalah :
a)         Pembuatan angkutan umum terintegrasi transjakarta.
Salah satu penyebab  masalah transportasi Jakarta adalah kenyataan bahwa masyarakat lebih cenderung memilih angkutan umum dengan segala keuntungan dan kemudahannya. Transjakarta merupakan angkutan umum yang terintegrasi di Jakarta. Angkutan ini mampu melayani kebutuhan perjalanan masyarakat di kawasan Jakarta. Dengan tarif Rp 3500,00 diharapkan masyarakat mampu menggunakan fasilitas transportasi ini. Selain itu yang menjadi kekhasan transjakarta adalah bahwa angkutan ini memiliki jalur khusus sehingga waktu perjalanan akan menjadi semakin pendek.
b)         Penerapan system 3in1 di beberapa ruas jalan
Upaya ini dimaksudkan untuk mengoptimalkan pemakain kendaraan pribadi. Dengan adanya peraturan ini maka masyarakat sebenarnya dipaksa untuk menggunakan kendaraan secara kolektif. Dengan demikian diharapkan penggunaan angkutan pribadi dapat ditekan. Namun, seperti yang telah dijelaskan di atas, penerapan konsep TDM harus memperhatikan kondisi social mayarakatnya. Hal ini terbukti dengan tidak efektifnya 3in1 karena justru akan memunculkan masalah baru, yaitu adanya joki joki 3in1.
c)         Penerapan Electronic Road Pricing (ERP)
Kebijakan ini ditujukan untuk menggantikan kebijakan three in one yang dinilai tidak efektif dalam mengendalikan laju penggunaan mobil pribadi sebagai penyebab kemacetan lalu lintas dan polusi udara di Jakarta. Pada prinsipnya, ERP adalah upaya mengatur aliran kendaraan dan kemacetan melalui mekanisme penarifan. ERP dibedakan sesuai dengan waktu, zona berkendaraan, dan jenis kendaraan. Dana yang diperoleh dari penerapan sistem ERP tersebut digunakan untuk mengembangkan transportasi publik (Infrastructure Watch, 2005). Karena ERP ini belum sepenuhnya diterapkan, maka perlu dilakukan analisis lalulintas untuk menentukan lokasi yang benar benar layak untuk diberi ERP.


2.                  Semarang
Seperti halnya Jakarta dan kota kota besar lainnya, masalah transportasi juga ada di Semarang. Ada beberapa titik rawan kemacetan di Semarang diantaranya ada di Jatingaleh, Kaligawe dan bahkan simpang lima. Sementara itu, kinerja angkutan umum di Semarang bisa dikatakan belum optimal. Dalam penelitian oleh Balitbang yang dilakukan di Kedungsepur komposisi kendarannya adalah 90% merupakan angkutan pribadi, 10% angkutan umum. Sedangkan komposisi moda transportasinya adalah 54% Mobil, 37%sepeda motor, 6% Bus, dan 3% untuk bus kecil. Sementara itu untuk transportasi dalam kota Semarang, kendaraan jenis sepeda motor mendominasi setiap ruas ruas jalan dengan proporsi rata rata 45% dari ruas jalan yang ditinjau, angkutan bus memiliki kontribusi  sekitar 4% dan angkutan kota 13%. Sedangkan untuk kendaraan pribadi jenis mobil memiliki proporsi 28% dan sisa lainnya adalah kendaraan tak bermotor.Berdasarkan hasil analisis serta hasil survey pada beberapa responden, maka dirumuskan suatu alternatif skenario pengaturan moda transportasi sebagai berikut:
1.         Angkutan kereta api dapat di kembangkan untuk melayani perjalanan antar kota ( Pantura)
2.         Bus Antarkota (AKDP/AKAP) hanya dibatasi sampai Terminal Bawen, dengan demikian Terminal Bawen akan berkembang menjadi terminal terpadu.
3.         Jalur Ungaran-Semarang dilayani dengan menggunakan bus sedang yang direncanakan akan dapat berkembang menjadi angkutan umum terpadu seperti transjakarta
4.         Angkutan kota dapat dioperasikan sebagai feeder dari perumahan atau daerah bangkitan yang tidak dilewati jalur utama bus.
5.         Adanya penerapan road pricing bagi kendaraan yang masuk kota, pemberian tarif parker yang cukup mahal,dan cara lainnya untuk mengurangi minat masyarakat menggunakan kendaraan pribadi.



Gambar 3. Skema pengaturan transportasi Semarang